Lombok Barat, NTB – Angka Anak Tidak Sekolah (ATS) dan Anak Putus Sekolah (APS) di Lombok Barat dilaporkan masih cukup tinggi, didominasi oleh faktor-faktor non-akademis yang kompleks. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Lombok Barat, Drs. M. Hendrayadi, mengungkapkan bahwa pemicu utama fenomena ini adalah faktor ekonomi yang berakar hingga masalah sosial dan keretakan keluarga, Selasa 9 Desember 2025.
Menurut Hendrayadi, fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan bercampur aduk antara APS dan ATS. Faktor paling banyak yang menyebabkan anak meninggalkan bangku pendidikan adalah kondisi ekonomi.
“Yang paling banyak menyebabkan (putus sekolah) adalah faktor ekonomi, kemudian tempat tinggal. Ini semua berkaitan dengan ekonomi yang menyebabkan masyarakat banyak sekolah hanya sampai kelas 5. Belum lagi yang tidak melanjutkan cukup banyak,” ujar Hendrayadi.
Lebih dari sekadar kemiskinan, Hendrayadi menyoroti kondisi keluarga sebagai pemicu utama kerentanan anak putus sekolah. Fenomena orang tua yang berpisah, di mana salah satu pihak (terutama ibu) menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan pihak lain tidak jelas keberadaannya, membuat anak-anak terpaksa dititip.
“Anaknya dititip di nenek atau kadang-kadang di tetangga. Itu pemicu anak putus sekolah dan anak tidak sekolah,” tambahnya.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari tingginya angka putus Sekolah ini sangat serius dan berantai, yaitu tingginya kasus perkawinan anak. Pernikahan dini ini kemudian berdampak langsung pada masalah administrasi kependudukan.
“Dampak yang ditimbulkan terhadap ini adalah tingginya perkawinan anak, kemudian yang berdampak ke banyak anak yang tidak bisa memiliki dokumen-dokumen kependudukan yang jelas,” tegas Hendrayadi.
Ia mencontohkan, kasus ibu yang melahirkan di usia 14 tahun menciptakan data anomali yang mengganggu sistem pendidikan. Anak-anak usia Sekolah, bahkan sudah usia SMP, tercatat tidak bisa mendapatkan ijazah karena dokumen kependudukan mereka tidak selesai.
“Bahkan di akhir tahun kemarin ada tiga tercatat anaknya harus sudah SMP. Karena datanya anomali terus sehingga tidak bisa terbit ijazah,” ungkapnya.
Untuk mengatasi kasus anomali ini, Dikbud tahun ini mengambil kebijakan unik dengan catatan anak harus bersedia mengulang kelas 6. Setelah itu, Dikbud akan membantu proses penyelesaian dokumen kependudukannya.
Meskipun menghadapi tantangan berat, Hendrayadi mengklaim Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di Lombok Barat menunjukkan perbaikan signifikan.
“Alhamdulillah saat ini untuk Lombok Barat rata-rata lama Sekolahnya cukup signifikan, 3 digit menjadi 7,7. Kemarin masih 6,8,” katanya.
Untuk terus menekan angka putus sekolah dan ATS, Dikbud Lombok Barat mengambil sejumlah langkah strategis:
Bekerja sama dengan Pemerintah Desa dan stakeholder terkait untuk memetakan dan menangani kasus putus sekolah dan ATS.
Program Keaksaraan: Pemerintah Kabupaten menjalankan program Keaksaraan dan Selaras untuk menjaring masyarakat berusia di atas 25 tahun yang belum bersekolah agar dapat mengikuti Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B, dan C).
Pendataan Anak Terisolir: Dikbud bekerja sama dengan Dinas Sosial untuk menghimpun data anak-anak yang terisolir dan tidak bersekolah, serta menyekolahkan mereka di Sekolah Rakyat sebagai langkah intervensi terakhir.
“Kami sedang mencoba menghimpun data dengan kerjasama dengan pemerintahan desa untuk anak-anak yang mungkin terisolir dan posisinya tidak bersekolah,” tutup Hendrayadi, menekankan komitmen Pemkab untuk mengatasi akar masalah sosial ini.












