Lombok Tengah – Kuasa hukum Muhammad Guntur dan H. Guna Amrullah, yakni Muhammad Syarifuddin SH MH, menduga adanya upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh oknum penyidik satreskrim Polres Lombok Tengah dalam penanganan kasus dugaan penggergahan yang dilaporkan oleh Indah Kharisma pada 21 Januari 2025 lalu.
Dalam keterangannya, Syarifuddin mengungkapkan bahwa kliennya menerima surat undangan klarifikasi dari pihak penyidik secara berturut-turut hingga empat kali, tanpa kejelasan status hukum yang disematkan kepada mereka. Surat terakhir dikirimkan pada 30 April 2025 dengan Nomor: B/734/IV/Res.1.24./2025/Reskrim.
“Undangan tersebut kami anggap tidak sah dan tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Ini adalah bentuk kriminalisasi oleh penyidik,” tegas Syarifuddin, Selasa (6/5/2025).
Syarifuddin menjelaskan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, menurutnya, tidak ditemukan unsur tindak pidana penggergahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 KUHP.
Ia menjelaskan, Pasal 167 KUHP berbunyi “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”.
Pasal ini, kata dia, mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan dengan memaksa masuk ke rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang digunakan orang lain secara sah.
Jika seseorang memaksa masuk atau tetap berada di tempat tersebut tanpa hak dan tidak segera pergi setelah diminta maka orang tersebut dapat dikenakan hukuman sesuai pasal ini.
“Jadi, Pasal ini hanya berlaku jika seseorang memaksa masuk atau tetap berada di pekarangan atau rumah milik orang lain secara melawan hukum. Tapi fakta di lapangan tidak demikian,” ujarnya.
Ia juga menyebut, berdasarkan surat keterangan dari Desa Kerembong, pelapor tidak memiliki rumah ataupun pekarangan di objek yang dipersoalkan di Dusun Katon, Desa Kerembong, Kecamatan Janapria. Sementara itu, kedua kliennya juga tidak tinggal ataupun memiliki kaitan dengan lokasi tersebut.
Lebih jauh, Syarifuddin menilai bahwa “undangan klarifikasi” tidak memenuhi ketentuan pemanggilan yang diatur dalam KUHAP, seperti tidak adanya status sebagai saksi atau tersangka, atau penyampaian undangan yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 “Tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Ketentuan ini dapat dirujuk dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam Pasal 56 Perkap Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa penyidik dapat memanggil seseorang guna dimintai keterangan, baik secara lisan maupun tertulis, tanpa paksaan.
Namun, sambung Syarifuddin, ketentuan ini tidak secara eksplisit menyebut istilah “undangan klarifikasi”.
“Oleh karena itu, dasar hukum undangan klarifikasi masih dipertanyakan dan tidak sejalan dengan asas hukum yang berlaku, seperti Jex seripta (hukum harus tertulis) dan lex certa (hukum harus jelas),” jelasnya.
Atas kejanggalan tersebut, pihaknya akan melaporkan penyidik Polres Lombok Tengah ke Divisi Propam Polda NTB dan Kompolnas terkait dugaan kriminalisasi.
“Langkah hukum akan kami tempuh untuk menghindari upaya kriminalisasi lebih lanjut terhadap klien kami,” pungkas Syarifuddin.